Gapura Residence | 17 Desember | Soe Hok Gie | Aktivis
17 Desember 1942, seorang anak laki laki keturunan China terlahir. Soe hoek gie, anak laki laki yang memiliki keberanian untuk mengkritisi pemerintahan di era pemerintahan Orde Lama dan juga Orde Baru
Soe Hok Gie merupakan anak keempat dari lima bersaudara, seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
.
Soe kuliah di Universitas Indonesia (UI) dari tahun 1962 sampai 1969; setelah menyelesaikan studi di universitas, ia menjadi dosen di almamaternya sampai kematiannya. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru. Soe adalah seorang penulis yang produktif, dengan berbagai artikel yang dipublikasikan di koran-koran seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Gie memiliki kekecewaan terhadap teman teman seangkatannya yang ikut melakukan demonstrasi pada tahun 1966 mengkritik pemerintahan. Namun setelah lulus tidak sedikit dari rekan rekan seperjuangannya tersebut berpihak ke pemerintahan dan lupa dengan visi, misi perjuangan Angkatan 1966.
Pada tahun 1965, Soe membantu mendirikan Mapala UI, organisasi lingkungan di kalangan mahasiswa. Dia menikmati kegiatan hiking, dan meninggal karena menghirup gas beracun saat mendaki gunung berapi Semeru sehari sebelum ulang tahun ke 27. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Sekarang aku melihat rahasia pembuatan orang terbaik itu adalah untuk tumbuh di udara terbuka dan untuk makan dan tidur dengan bumi.”
Sewaktu Mapala mencari pendanaan dengan menaklukkan gunung semeru, banyak dari anggota yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Soe pernah menulis dalam buku hariannya:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis… nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda. “
Tulisan Soe Hok Gie lainnya yang cukup terkenal antara lain “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
Bukan tanpa dasar seorang Soe Hok Gie berani mengungkapkan kalimat tersebut. Kita lihat sendiri bahwa masih sering terlihat sampai saat ini , dimana seorang guru berusaha membentuk siswa mempunyai pola pikir yang sama dengannya, yang dirasanya paling benar.
Tulisan dari buku hariannya diterbitkan pada tahun 1983, dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang berisi opini dan pengalamannya terhadap aksi demokrasi. Soe dalam tesis universitasnya juga diterbitkan, dengan judul Di Bawah Lantera Merah.
Buku harian Soe ini menjadi inspirasi untuk film 2005, berjudul Gie, yang disutradarai oleh Riri Riza dan dibintangi Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie. Soe juga merupakan subjek dari sebuah buku 1997, yang ditulis oleh Dr John Maxwell yang berjudul Soe Hok Gie-: Diary of a Young Indonesian Intellectual. Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001, dan berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Sosok Soe Hok Gie yang idealis dan haus akan kebenaran begitu dirindukan untuk tetap ada di Indonesia. Arus masyarakat tak pernah stabil, namun disitulah letak tantangan kita sebagai mahasiswa untuk tidak tinggal diam dan terus berfikir dan mencipta.